Pengertian dan Sikap
Toleransi dalam Kehidupan Sehari-hari -Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal. Antara satu bangsa dengan bangsa lain memiliki budaya dan karakteristik berbeda-beda. Demikian pula dengan Indonesia. Indonesia merupakan negara majemuk dengan beragam perbedaaan. Perbedaan
suku, agama, warna kulit, dan bahasa di Indonesia merupakan anugerah
berharga dari Tuhan. Semua ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia
yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.
suku, agama, warna kulit, dan bahasa di Indonesia merupakan anugerah
berharga dari Tuhan. Semua ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia
yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.
Oleh karena itu sudah selayaknyalah kita bersyukur
atas semua karunia
dari Tuhan. Lalu bagaimana cara mensyukurinya? Tidak lain adalah
dengan saling menghormati, menghargai, serta memelihara hubungan baik
antarsesama warga Indonesia.
dari Tuhan. Lalu bagaimana cara mensyukurinya? Tidak lain adalah
dengan saling menghormati, menghargai, serta memelihara hubungan baik
antarsesama warga Indonesia.
1. Pengertian Toleransi
Toleransi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tasamuh. Secara
bahasa toleransi berarti tenggang rasa. Secara istilah, toleransi
adalah sikap menghargai dan menghormati perbedaan antarsesama
manusia. Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain.
Perbedaan tersebut bisa menjadi kekuatan jika dipandang secara positif.
Sebaliknya, perbedaan bisa memicu kontak jika dipandang secara negatif.
manusia. Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain.
Perbedaan tersebut bisa menjadi kekuatan jika dipandang secara positif.
Sebaliknya, perbedaan bisa memicu kontak jika dipandang secara negatif.
Sebagai ilustrasi, Jika kita memperhatikan salah satu unsur bangunan, misalnya
tembok, maka tembok itu terdiri dari beberapa bagian: batu bata, besi, semen,
dan pasir. Jika masing-masing bagian itu berdiri sendiri tanpa ada persatuan
dan keterkaitan maka tidak akan mempunyaikekuatan. Setelah bagian-bagian itu
dipersatukan, dicampur dengan air,dan disusun rapi, maka ia menjadi satu
bangunan yang kokoh. Ini semuamenggambarkan bahwa perbedaan merupakan sumber
kekuatan apabila bersatu
dan bekerja sama. Oleh karena itu Islam mengajarkan untuk menghargai dan
menghormati perbedaan.
menghormati perbedaan.
2. Sikap
Toleransi dalam Kehidupan Sehari-hari
Dengan menjunjung tinggi sikap menghargai perbedaan
ini maka kehidupan masyarakat akan damai dan sejahtera. Oleh karena itu kita
harus menerapkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan
sekolah, rumah, maupun masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari toleransi dapat
diwujudkan dengan sikap-sikap sebagai berikut.
1.
Bergaul dengan semua teman tanpa membedakan agamanya.
2.
Menghargai dan menghormati perayaan hari besar keagamaan umat lain.
3.
Tidak menghina dan menjelek-jelekkan ajaran agama lain.
4.
Memberikan kesempatan kepada teman nonmuslim untuk berdoa sesuai
agamanya masing-masing.
5.
Memberikan kesempatan untuk melaksana-kan ibadah bagi nonmuslim.
6.
Memberikan rasa aman kepada umat lain yang sedang beribadah.
7.
Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
8.
Mengadakan silaturahmi dengan tetangga yang berbeda agama.
9.
Menolong tetangga beda agama yang sedang kesusahan.
ANTAR UMAT BERAGAMA
Dasar atau landasan dari ketiga cara untuk
membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama sebagaimana yang telah
dikemukakan adalah hakekat dan martabat kemanusiaan, realita sosial yang ada,
ideologi keagamaan yang dianut dan dicita-citakan, dan komitment konstitusional
yang dicanangkan.
III.1. Dasar Kemanusian (Filosofis)
Kerukunan dan toleransi antar umat beragama
merupakan konsekwensi serta kebutuhan hakiki dari kemanusiaan yang universal,
yang tidak dapat ditolak dan wajib diusahakan oleh setiap insan beragama karena
manusia pada hakekatnya adalah makhluk hidup yang :
- individual dan serentak komunal yang hidup
bersama, mengelompokkan diri atas dasar tertentu, saling membutuhkan,
saling berelasi, saling mempengaruhi;
- yang memiliki kesamaan martabat, nilai-nilai
kemanusiaan, dan hak asasi, eksistensi atau keberadaan, permasalahan dan
kebutuhan, ideologi dan cita-cita
- dan serentak memiliki kekhasan yang membedakan individu yang
satu dengan yang lain maupun kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;
- yang memiliki kebebasan batiniah (kehendak) dan lahiriah (tindakan), namun serentak
dapat pula mempengaruhi dan dipengaruhi;
- yang memiliki kecenderungan “egositis” maupun “altroistis”, baik secara
individual maupun komunal;
- yang mempunyai akal budi, hati nurani dan keutamaan untuk
memikirkan dan mengetahui, menilai dan memutuskan, serta bertindak atau
berbuat;
- yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma: adat/budaya,
kenegaraan, keagamaan.
Penghargaan terhadap agama/umat beragama lain,
hidup rukun dan damai dengan umat beragama lain, bukan hanya merupakan
kebutuhan dan tuntutan atau kewajiban keagamaan, tetapi lebih luas dan dalam
dari itu, yaitu karena kemanusiaan. Kerukunan dan toleransi antar
sesama manusia, baik yang beragama maupun yang tidak beragama, merupakan
tuntutan kebutuhan dan kewajiban kemanusiaan dari setiap orang (termasuk orang
yang tidak beragama). Kerukunan dan toleransi antar umat beragama merupakan
konsekwensi dari hakekat kemanusiaan kita.
Oleh sebab itu bila ada orang yang merusakkan atau
menolak kerukunan dan toleransi antar umat beragama, sama dengan ia merusakkan
atau menolak kemanusiaan.
Apakah kita menghendaki demikian ? Kiranya tidak ! Oleh
sebab itu kita perlu waspada terhadap oknum ataupun kelompok yang mencoba
merusakkan atau menolaknya, seraya berusaha untuk membangun kerukunan dan
toleransi antar umat beragama, karena dan
demi kemanusiaan (harkat dan martabat manusia) yang universal.
III.2. Dasar kebudayaan (Sosio-kultural)
Masyarakat Indonesia, baik secara lokal maupun
nasional memiliki nilai-nilai dan norma-norma budaya yang pada dasarnya sangat mengutamakan,
menjamin serta mencirikhaskan kerukunan dan toleransi, perdamaian dan
persatuan, persaudaraan dan kekeluargaan, solidaritas dan
kerjasama, bukan hanya antar umat beragama tetapi antar setiap individu dan
kelompok dari latarbelakang manapun. Kearifan-kearifan lokal seperti “pela” dan “gandong”, “ain
ni ain” dll., maupun falsafah bangsa seperti “Bhineka Tunggal
Ika” merupakan perekat untuk landasan dalam membangun kerukunan dan
toleransi antar umat beragama.
Secara sepintas terkesan kearifan lokal bercorak
khas dan hanya dimiliki oleh, berlaku bagi dan diterima oleh kelompok tertentu.
Sedangkan nilai-nilai budaya atau kearifan nasional yang dianggap milik bangsa,
dan diterima serta berlaku bagi segenap warga negera, terkesan tidak
representatif, digugat dan ditolak atau bahkan dirusakkan oleh pihak-pihak
tertentu. Namun bila kita kaji lebih dalam maka jiwa atau makna terdalam dari
kearifan lokal bercorak nasional, bahkan universal, dapat diterima dan dimiliki
oleh serta berlaku bagi siapa saja, termasuk bagi individu maupun
kelompok dari latarbelakang agama yang berbeda. Secara faktual sejarah
masyarakat “Maluku” dan bangsa Indonesia telah membuktikan hal ini. Nilai-nilai
budaya atau kearifan lokal telah mendasari dan melahirkan nilai-nilai budaya bangsa
dan negara kita, dan serentak telah mendasari pembentukan bangsa dan negara
kesatuan republik Indonesia, menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, dan secara khusus mendasari kerukunan dan toleransi
antar umat beragama di bumi nusantara ini.
Kerukunan dan toleransi merupakan ciri budaya kita,
baik secara lokal maupun nasional. Maka menolak atau merusakkan kerukunan dan
toleransi dalam aspek manapun dengan alasan apapun tidak dapat diterima
secara kultural karena sama dengan menolak atau merusakkan budaya
lokal maupun nasional kita.
Apakah kita menghendaki demikian ? Kiranya tidak ! Oleh
sebab itu kita perlu waspada terhadap oknum ataupun kelompok yang mencoba
merusakkan atau menolaknya, seraya berusaha untuk membangun kerukunan dan
toleransi antar umat beragama, demi mempertahankan eksistensi
kemajemukan agama serta budaya lokal dan nasional kita.
Untuk itu kita perlu mengusahakan penyadaran dan “pelestarian” nilai-nilai
budaya atau kearifan lokal maupun nasional, secara kontekstual
melalui penggalian dan pencerahan (sosialisasi)
untuk sungguh-sungguh dimiliki dan diwujudkan dalam hidup.
III.3. Dasar Kemasyarakatan dan Kenegaraan (Sosial
dan Konstitusional)
Secara faktual, masyarakat “Maluku” pada khususnya
dan masyarakat Indonesia pada umumnya bercorak majemuk. Kemajemukan, termasuk
dalam bidang keagamaan, merupakan ciri khas masyarakat kita. Maka konsekwensi
dari kemajemukan adalah kebutuhan dan kewajiban untuk menerima dan mengusahakan
kerukunan dan toleransi. Misalnya antar umat beragama.
Maka warga masyarakat atau umat beragama yang
menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi umat beragama pada dasarnya
menolak atau merusakkan kemajemukan dalam masyarakatnya. Menolak atau
merusakkan kemajemukan dalam suatu masyarakat yang majemuk adalah sama dengan
menolak atau merusakkan eksistensi masyarakat tersebut.
Sebagai warga masyarakat “Maluku” dan warga Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang adalah masyarakat yang majemuk, apakah kita
mau merusakkan atau menolak eksistensi masyarakat kita ? Kiranya tidak ! Namun
kita tidak dapat ingkari adanya ancaman pengrusakan ataupun penolakan terhadap
eksistensi masyarakat kita. Oleh sebab itu kita perlu waspada terhadap oknum
ataupun kelompok yang mencoba merusakkan atau menolaknya, seraya berusaha untuk
membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama, demi
mempertahankan dan mengembangkan eksistensi masyarakat “Maluku” maupun bangsa
Indonesia yang majemuk.
Sejak Negera Kesatuan Republik Indonesia didirikan,
para pendirinya kiranya telah menyadari kemajemukan bangsa kita ini serta
ancaman terhadap kerukunan dan persatuan di satu sisi maupun potensi untuk
membangun kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara, bermasyarakat dan
beragama, dengan rukun dan damai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dari lain sisi. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan dan penderian Negara
Kesatuan Republik Indonesia, para pencetus Sumpah Pemuda telah menyadari ciri
kemajukan bangsa kita dan kebutuhan akan persatuan dan perdamaian. Karena itu untuk
mencegah perselisihan dan perpecahan serta memelihara kerukunan dan toleransi
serta persatuan, disusunlah falsafah bangsa dan dasar negara sebagaimana
tertuang dalam Pancasila dan UUD 45.
Jadi dasar kenegaraan atau konstitusional dari
kerukunan dan toleransi antar umat beragama adalah Pancasila dan UUD 45
(khusunya pasal 29). Selain itu, juga undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan/keputusan presiden, peraturan/keputusan menteri, yang lebih bersifat
operasional dan merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD 45. Kerukunan dan
toleransi antar umat beragama amat dibutuhkan dan menentukan kedamaian,
persatuan dan keutuhan dari bangsa kita yang majemuk.
Karena itu komitment, undang-undang dan
peraturan untuk mewujudkan dan memelihara kerukunan dan toleransi antar
umat beragama dibuat dan perlu dipatuhi oleh segenap warga negara.
Maka menolak atau merusakkan kerukunan dan
toleransi antar umat beragama sama dengan menolak atau merusakkan Pancasila dan
UUD 45, serentak menolak atau merusakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apakah kita menghendaki demikian ? Kiranya tidak ! Oleh
sebab itu kita perlu waspada terhadap oknum ataupun kelompok yang mencoba
merusakkan atau menolaknya, seraya berusaha untuk membangun kerukunan dan
toleransi antar umat beragama, demi mempertahankan eksistensi bangsa
dan negara kita dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.